Memang, kedatangan kami bertiga ke perkampungan itu bukanlah kesengajaan. Namun berawal dari kenekatan kami melewati sebuah hutan yang terkenal angker. Kami yang demam joget dan haus akan hiburan, tanpa peduli memberanikan diri melewati hutan itu.
Acara organ tunggal yang diadakan di desa tetangga membuat kami bertiga sepakat untuk mendatanginya. Tapi perjalanan kami menuju kamung itu tidaklah semulus yang kami bayangkan.
Entah sudah berapa lama kami berjalan menelusuri jalan setapak yang menuju ke kampung tempat acara itu diadakan, tapi anehnya tidak kunjung sampai. Dan puncak keanehan yang kami temui adalah ketika kami bertiga menemukan sebuah acara pasar malam, padahal kami bertiga tahu betul kalau di kampung sekitar kami tinggal tidak pernah ada acara seperti itu.
Meski keraguan terbersit di hati kami bertiga, anehnya kami seakan tidak memperdulikannya. Apalagi ketika melihat goyangan para pengunjungan pasar malam itu yang tampak asyik mengiringi alunan musik melayu, yang diiringi oleh merdunya suara biduanita. Mereka mendendangkan pantun-pantun yang enak didengar.
Kami yang datang hendak berjoget ria tanpa pikir panjang lagi ikut membaur dalam acara mereka. Kami melupakan rencana semula, kami larut dalam acara mereka. Dan ketika bosan telah menghampiri kami bertiga, kami berkeliling pasar malam itu, memperhatikan segalanya yang ada. Bermacam keanehan kami temukan. Tapi entah apa penyebabnya, kami seakan tidak perduli.
Setelah lelah berkeliling, tanpa kompromi kami memasuki sebuah kantin yang di dalamnya tampak banyak orang yang makan dan minum. Walau makanan dan minuman terlihat sangat asing bagi kami, tapi kami tetap memesan makanan dan minuman itu.
Kami yang datang hendak berjoget ria tanpa pikir panjang lagi ikut membaur dalam acara mereka. Kami melupakan rencana semula, kami larut dalam acara mereka. Dan ketika bosan telah menghampiri kami bertiga, kami berkeliling pasar malam itu, memperhatikan segalanya yang ada. Bermacam keanehan kami temukan. Tapi entah apa penyebabnya, kami seakan tidak perduli.
Setelah lelah berkeliling, tanpa kompromi kami memasuki sebuah kantin yang di dalamnya tampak banyak orang yang makan dan minum. Walau makanan dan minuman terlihat sangat asing bagi kami, tapi kami tetap memesan makanan dan minuman itu.
Memang hidangan itu tidaklah asing bagi lidah kami, tapi permasalahan timbul ketika kami bertiga hendak membayar apa yang telah kami cicipi. Ya, kami terkejut bukan kepalang ketika kasir tidak mau menerima uang kami sebagai alat pembayaran. Mereka minta kami membarter dengan barang. Dan di saat itulah kami baru menyadari kalau semua orang juga melakukan sistem barter itu. Tapi celakanya kami tidak memiliki satu barang berharga pun yang bisa dibarterkan dengan makanan dan minuman yang telah mereka suguhkan.
“Kalau kalian memang tidak memiliki barang yang bisa ditukarkan dengan hidangan yang telah kalian santap, maka kalian bisa membayarnya dengan salah seorang dari kalian!” kata si pemilik warung.
“Semahal itukah harga yang harus kami bayar untuk semua makanan ini?” tanyaku.
“Kami tidak memaksa kalian! Tapi kalian harus tetap membayar,” tegasnya.
“Tapi yang kami punya hanya uang!” Kataku.
“Uang kalian tidak ada artinya bagi kami. Tapi kalian masih memiliki barang yang bisa kalian tukar dengan hidangan yang telah kami suguhkan.”
“Katakanlah, apa barang yang kami punya dan bisa dibarter dengan semua yang telah kami makan?” Tanyaku lagi.
Tidak pernah terbayangkan oleh kami sebelumnya, kalau kalung dan gelang butut milik Majen, salah seorang temanku, yang ditunjukkannya sebagai barang yang dbisa ditukarkan dengan makanan yang telah kami santap. Padahal harga kalung dan gelang itu lebih murah dari jumlah uang yang kami punya. Lagian barang-barang itu didapatkan Majen dari pasar loak, tapi justru barang itulah yang dapat membuat kami bertiga keluar dari kerumitan yang terjadi di pasar malam yang aneh itu.
“Uang kalian tidak ada artinya bagi kami. Tapi kalian masih memiliki barang yang bisa kalian tukar dengan hidangan yang telah kami suguhkan.”
“Katakanlah, apa barang yang kami punya dan bisa dibarter dengan semua yang telah kami makan?” Tanyaku lagi.
Tidak pernah terbayangkan oleh kami sebelumnya, kalau kalung dan gelang butut milik Majen, salah seorang temanku, yang ditunjukkannya sebagai barang yang dbisa ditukarkan dengan makanan yang telah kami santap. Padahal harga kalung dan gelang itu lebih murah dari jumlah uang yang kami punya. Lagian barang-barang itu didapatkan Majen dari pasar loak, tapi justru barang itulah yang dapat membuat kami bertiga keluar dari kerumitan yang terjadi di pasar malam yang aneh itu.
Walau kejadian itu telah membuat kami bertiga panik, tapi anehnya kami tidak berniat pergi meninggalkan acara pasar malam itu. Seperti tidak ada kejadian, kami bertiga kembali mengelilingi keramaian. Kami mengamati sistem jual beli yang diperagakan mereka, yang baru kali ini kami melihatnya.
Kami bertiga terus mengamati segalanya tentang pasar malam itu, hingga sampai lupa dengan tujuan utama kami yang ingin melihat acara organ tunggal yang ada di kampung tetangga. Entah apa penyebabnya kami tidak ingin meninggalkan keramaian pasar malam itu.
Meski kami tidak ada yang mengenali setiap penduduk yang hadir meramaikan pasar malam itu, segala macam keanehan yang kami jumpai tidak membuat aku, Romi dan Majen jera dan berniat untuk pergi.
Tapi tampaknya semua gerak-gerik kami selalu diperhatikan oleh seorang laki-laki berusia kira-kira 60 tahun. Kami baru menyadari semua itu ketika kami berjalan mengamati setiap barang-barang dagangan yang dipamerkan di sepanjang keramaian pasar.
Kami bertiga terus mengamati segalanya tentang pasar malam itu, hingga sampai lupa dengan tujuan utama kami yang ingin melihat acara organ tunggal yang ada di kampung tetangga. Entah apa penyebabnya kami tidak ingin meninggalkan keramaian pasar malam itu.
Meski kami tidak ada yang mengenali setiap penduduk yang hadir meramaikan pasar malam itu, segala macam keanehan yang kami jumpai tidak membuat aku, Romi dan Majen jera dan berniat untuk pergi.
Tapi tampaknya semua gerak-gerik kami selalu diperhatikan oleh seorang laki-laki berusia kira-kira 60 tahun. Kami baru menyadari semua itu ketika kami berjalan mengamati setiap barang-barang dagangan yang dipamerkan di sepanjang keramaian pasar.
Ketika kami berada di sebuah kios tempat penjual bunga, kami melihat laki-laki tua yang terus memperhatikan kami itu. Kemana kami berjalan dia ikuti, dan ketika kami berhenti dia juga ikut berhenti.
“Kalian berdua tenang saja! Biar aku yang menanyakan apa maunya Pak Tua itu,” kataku kepada Romi dan Majen.
Aku berjalan menghampiri laki-laki tua yang terus memperhatikan gerak-gerik kami itu. Tapi ketika aku berjalan ke arahnya, dia seakan mengetahui akan maksud hatiku yang ingin menanyainya. Dia pergi dari tempat semula.
Rasa penasaranku mempercepat langkahku untuk menyusulnya. Tapi semakin aku mempercepat langkah, jarakku dan dia seperti bertambah saja. Padahal laki-laki tua itu tampak berjalan seperti semula.
Dia membuatku terpaksa harus berlari mengejarnya. Tapi tetap saja usahaku sia-sia. Merasa pengerjaran itu sia-sia, aku menghentikan pengejaranku. Saat itulah laki-laki tua itu berjalan menghampiriku yang masih terengah-engah kecapekan.
“Kalian berdua tenang saja! Biar aku yang menanyakan apa maunya Pak Tua itu,” kataku kepada Romi dan Majen.
Aku berjalan menghampiri laki-laki tua yang terus memperhatikan gerak-gerik kami itu. Tapi ketika aku berjalan ke arahnya, dia seakan mengetahui akan maksud hatiku yang ingin menanyainya. Dia pergi dari tempat semula.
Rasa penasaranku mempercepat langkahku untuk menyusulnya. Tapi semakin aku mempercepat langkah, jarakku dan dia seperti bertambah saja. Padahal laki-laki tua itu tampak berjalan seperti semula.
Dia membuatku terpaksa harus berlari mengejarnya. Tapi tetap saja usahaku sia-sia. Merasa pengerjaran itu sia-sia, aku menghentikan pengejaranku. Saat itulah laki-laki tua itu berjalan menghampiriku yang masih terengah-engah kecapekan.
“Kamu ada perlu denganku, Anak Muda?” Tanyanya.
“Kalau aku tidak ada perlu dengan Bapak, buat apa aku harus berlari mengejarmu,” ujarku, kesal. “Kita memang tidak saling kenal. Tapi apa maksudmu dengan memperhatikan kami. Apa ada yang mencurigakan dari kami bertiga?” Tanyaku kemudian.
“Jadi, menurutmu, aku salah! Aku sebagai seorang kepala kampung di sini berhak mengawasi setiap pendatang yang asing. Apalagi kalian bertiga telah membuat keributan di warung wargaku!”
“Kami tidak membuat keributan. Kami mau saja membayar semua yang kami makan…hanya saja warga Bapak yang tidak mau menerima uang kami. Mereka lebih memilih gelang dan kalung aksesoris milik temanku. Tapi kurasa semua itu sudah beres dan tidak perlu diungkit lagi. Karena kami telah sepakat.”
“Kalau aku tidak ada perlu dengan Bapak, buat apa aku harus berlari mengejarmu,” ujarku, kesal. “Kita memang tidak saling kenal. Tapi apa maksudmu dengan memperhatikan kami. Apa ada yang mencurigakan dari kami bertiga?” Tanyaku kemudian.
“Jadi, menurutmu, aku salah! Aku sebagai seorang kepala kampung di sini berhak mengawasi setiap pendatang yang asing. Apalagi kalian bertiga telah membuat keributan di warung wargaku!”
“Kami tidak membuat keributan. Kami mau saja membayar semua yang kami makan…hanya saja warga Bapak yang tidak mau menerima uang kami. Mereka lebih memilih gelang dan kalung aksesoris milik temanku. Tapi kurasa semua itu sudah beres dan tidak perlu diungkit lagi. Karena kami telah sepakat.”
“Jadi kamu mempersalahkan aku yang mengawasi tingkah laku kalian? Apa tidak boleh aku curiga terhadap kalian yang baru datang ke kampung kami ini?”
“Aku tidak mempersalahkannya. Tapi aku merasa aneh berada di kampung ini. Apalagi setelah Bapak memperhatikan kami secara diam-diam. Dan itulah yang ingin aku tanyakan,”
“Seharusnya, akulah yang mesti menanyakan kepada kalian. Kenapa kalian sampai datang ke kampungku ini? Padahal kampung ini bukanlah kampung bangsa kalian. Kalian bertiga telah lancang mendatangi kampung kami ini!”
“Kurasa kita ini masih satu bangsa. Jadi wajarkan kalau kami ikutan?”
“Aku tidak mempersalahkannya. Tapi aku merasa aneh berada di kampung ini. Apalagi setelah Bapak memperhatikan kami secara diam-diam. Dan itulah yang ingin aku tanyakan,”
“Seharusnya, akulah yang mesti menanyakan kepada kalian. Kenapa kalian sampai datang ke kampungku ini? Padahal kampung ini bukanlah kampung bangsa kalian. Kalian bertiga telah lancang mendatangi kampung kami ini!”
“Kurasa kita ini masih satu bangsa. Jadi wajarkan kalau kami ikutan?”
“Siapa bilang kita satu bangsa! Kita sudah berlainan…tidak ada kesamaan di antara kita. Kamu harus tahu itu!”
“Kami memang tidak mengenal kalian semua, dan kalian mungkin juga tidak mengenali kami bertiga. Tapi aku yakin, kamu masih warga Indonesia sama seperti kami bertiga. Masihkan kamu ingin menepiskan kenyataan ini?”
“Jangan terlalu bangga dengan semua analisamu. Sadarkah kamu…ketika pertama kali memasuki kampung kami ini, kalian bertiga hendak pergi ke kampung tetangga kalian? Tapi apa kalian yakin kampung kami ini adalah salah satu kampung tetangga kalian? Kalau memang benar, kampung ini adalah kampung tetangga kalian, kenapa kalian tidak mengenali kampung ini dan juga seorangpun penghuni kampung kami ini?”
Aku melongo mendengarkan kenyataan yang diutarakan laki-laki tua itu. Aku baru memikirkan kenapa kami sampai lupa dan tidak sadar kalau keanehan itu terjadi sampai sejauh ini.
“Sudahkan kamu sadar, kalau kita memang bukanlah sebangsa?”
“Aku memang merasakan keanehan-keanehan di kampung ini. Tapi apa maksudmu kalau kita tidaklah sebangsa itu? Apa kalian ini bukan Bangsa Indonesia?” tanyaku kemudian.
“Kami memang tidak mengenal kalian semua, dan kalian mungkin juga tidak mengenali kami bertiga. Tapi aku yakin, kamu masih warga Indonesia sama seperti kami bertiga. Masihkan kamu ingin menepiskan kenyataan ini?”
“Jangan terlalu bangga dengan semua analisamu. Sadarkah kamu…ketika pertama kali memasuki kampung kami ini, kalian bertiga hendak pergi ke kampung tetangga kalian? Tapi apa kalian yakin kampung kami ini adalah salah satu kampung tetangga kalian? Kalau memang benar, kampung ini adalah kampung tetangga kalian, kenapa kalian tidak mengenali kampung ini dan juga seorangpun penghuni kampung kami ini?”
Aku melongo mendengarkan kenyataan yang diutarakan laki-laki tua itu. Aku baru memikirkan kenapa kami sampai lupa dan tidak sadar kalau keanehan itu terjadi sampai sejauh ini.
“Sudahkan kamu sadar, kalau kita memang bukanlah sebangsa?”
“Aku memang merasakan keanehan-keanehan di kampung ini. Tapi apa maksudmu kalau kita tidaklah sebangsa itu? Apa kalian ini bukan Bangsa Indonesia?” tanyaku kemudian.
“Aku dan seluruh warga kampung ini bukan hanya bukan warga Indonesia, tapi bangsa kami dan bangsa kalian memanglah sangat berbeda. Dan kamu harus ingat baik-baik bahwa bangsaku dan kampungku ini telah ada jauh sebelum kalian ada di kampung ini, atau negara kalian ada. Memang sulit untuk mengakui semua ini bagimu, tapi sampai kapan kamu akan mempertahankan kebodohan kamu ini? Padahal katanya kalian makhluk yang sempurna, tapi tetap saja bagiku kamu itu adalah makhluk terbodoh!”
Aku terdiam dan benar-benar terpukul oleh perkataannya. “Bisakah kamu menjelaskan kalau memang kita berbeda?” kejarku lagi.
“Mungkin kamu tidak akan mengerti dengan semua ini kalau tidak dijelaskan. Tapi aku akan mengatakan dan menerangkan perbedaan kita kepadamu. Perbedaan kita terletak dan terjadi semenjak Allah menciptakan kita. Allah menciptakan bangsa kami dari api, sedangkan kalian diciptakan dari bongkahan tanah. Aku tidak akan menerangkan kelanjutannya. Karena kalau kalian memang memiliki akal dan pikiran, tentulah kamu sudah memahaminya.”
“Jadi kampung ini dan kalian adalah jin?”
“Yah……memang itulah kebenarannya?”
“Kenapa kami bisa sampai ke kampung kalian ini?”
“Karena kalian telah menembus pagar waktu di saat yang tepat. Dan kalian harus membayar mahal semua kesalahan kalian ini!”
“Kami datang dan sampai ke kampung ini karena tidak sengaja. Lagi pula buat apa kami menerobos masuk ke kampung kalian?”
Aku terdiam dan benar-benar terpukul oleh perkataannya. “Bisakah kamu menjelaskan kalau memang kita berbeda?” kejarku lagi.
“Mungkin kamu tidak akan mengerti dengan semua ini kalau tidak dijelaskan. Tapi aku akan mengatakan dan menerangkan perbedaan kita kepadamu. Perbedaan kita terletak dan terjadi semenjak Allah menciptakan kita. Allah menciptakan bangsa kami dari api, sedangkan kalian diciptakan dari bongkahan tanah. Aku tidak akan menerangkan kelanjutannya. Karena kalau kalian memang memiliki akal dan pikiran, tentulah kamu sudah memahaminya.”
“Jadi kampung ini dan kalian adalah jin?”
“Yah……memang itulah kebenarannya?”
“Kenapa kami bisa sampai ke kampung kalian ini?”
“Karena kalian telah menembus pagar waktu di saat yang tepat. Dan kalian harus membayar mahal semua kesalahan kalian ini!”
“Kami datang dan sampai ke kampung ini karena tidak sengaja. Lagi pula buat apa kami menerobos masuk ke kampung kalian?”
“Kenapa kamu masih saja berkeras diri. Padahal kalian bertiga tidak tahu jalan keluar dari kampung kami ini.”
“Kalau ada jalan masuk…pasti ada jalan keluar. Hanya saja kami belum menemukannya.”
“Pertahankanlah keyakinan kamu itu. Semoga kalian beruntung dan menemukan jalan keluar dari kampungku ini.”
Setelah berkata begitu, laki-laki tua itu pergi dan menghilang dari pandangan mataku. Aku tidak mengerti dengan semuanya itu.
Dengan langkah gontai, aku berjalan dan menceritakan segalanya kepada Romi dan Majen yang tampak masih duduk menungguku di tempat tadi.
“Kamu jangan nakut-nakuti kami, Fir! Memang telah banyak keanehan-keanahen di kampung ini. Tapi apa kamu kira kami percaya begitu saja dengan dongenganmu itu?” Protes Majen ketika aku menceritakan hal yang sebenarnya.
“Semula aku memang sukar untuk mempercayainya. Tapi cobalah kenali, lihat dan pikirkan segala macam keanehan ini. Mana ada kampung yang masih memakai sistem barter dan kenapa kita tidak mengenali sama sekali kampung ini, padahal kita sampai ke sini hanya berjalan kaki saja?” Aku memberi penjelasan kepada mereka.
Romi dan Majen ternganga. Mereka baru bisa menerima kenyataan ini.
“Kalau ada jalan masuk…pasti ada jalan keluar. Hanya saja kami belum menemukannya.”
“Pertahankanlah keyakinan kamu itu. Semoga kalian beruntung dan menemukan jalan keluar dari kampungku ini.”
Setelah berkata begitu, laki-laki tua itu pergi dan menghilang dari pandangan mataku. Aku tidak mengerti dengan semuanya itu.
Dengan langkah gontai, aku berjalan dan menceritakan segalanya kepada Romi dan Majen yang tampak masih duduk menungguku di tempat tadi.
“Kamu jangan nakut-nakuti kami, Fir! Memang telah banyak keanehan-keanahen di kampung ini. Tapi apa kamu kira kami percaya begitu saja dengan dongenganmu itu?” Protes Majen ketika aku menceritakan hal yang sebenarnya.
“Semula aku memang sukar untuk mempercayainya. Tapi cobalah kenali, lihat dan pikirkan segala macam keanehan ini. Mana ada kampung yang masih memakai sistem barter dan kenapa kita tidak mengenali sama sekali kampung ini, padahal kita sampai ke sini hanya berjalan kaki saja?” Aku memberi penjelasan kepada mereka.
Romi dan Majen ternganga. Mereka baru bisa menerima kenyataan ini.
“Kalau hanya diam mungkin kita tidak akan pernah dapat menemukan jalan keluar dan meninggalkan perkampungan ini,” kataku memecah keheningan.
Kukeluarkan rokok dan langsung membakarnya. Ternyata apa yang aku lakukan itu tidak lepas dari perhatian seorang laki-laki penjual bunga.
“Kamu mau menukarkan sebatang rokokmu dengan salah satu bunga yang ada disini?” Kata lelaki itu.
“Buat apa bunga? Yang perlu bagi kami saat ini adalah jalan keluar dari kampung ini. Tapi kalau kamu mau rokok, ambillah!” Balasku.
“Kamu pilihlah salah satu bunga yang ada disini yang kamu sukai. Kalau pilihanmu tepat, aku akan memberi satu petunjuk buat kalian bertiga.”
Kukeluarkan rokok dan langsung membakarnya. Ternyata apa yang aku lakukan itu tidak lepas dari perhatian seorang laki-laki penjual bunga.
“Kamu mau menukarkan sebatang rokokmu dengan salah satu bunga yang ada disini?” Kata lelaki itu.
“Buat apa bunga? Yang perlu bagi kami saat ini adalah jalan keluar dari kampung ini. Tapi kalau kamu mau rokok, ambillah!” Balasku.
“Kamu pilihlah salah satu bunga yang ada disini yang kamu sukai. Kalau pilihanmu tepat, aku akan memberi satu petunjuk buat kalian bertiga.”
“Maksudmu?” Tanya Majen.
“Kalau kamu memilih salah satu bunga yang ada disini dan tepat dengan alasan dan nama bunga itu, maka kamu akan mendapatkan kemudahan.”
Pengakuan tukang bunga itu membuat asa baru terlahir di hatiku. Apalagi dia menyebut dirinya berasal dari bangsa Jin Muslim.
“Kalau aku memilih salah satu bunga yang ada di tanamanmu. Apa ada kemungkinan bagi kami dapat keluar dari sini?” Tanyaku, merasa tak yakin.
“Tergantung pilihanmu. Kalau pilihanmu tepat, maka kamu dan dua orang temanmu akan keluar dari sini dengan sendirinya.”
“Kalau kamu memilih salah satu bunga yang ada disini dan tepat dengan alasan dan nama bunga itu, maka kamu akan mendapatkan kemudahan.”
Pengakuan tukang bunga itu membuat asa baru terlahir di hatiku. Apalagi dia menyebut dirinya berasal dari bangsa Jin Muslim.
“Kalau aku memilih salah satu bunga yang ada di tanamanmu. Apa ada kemungkinan bagi kami dapat keluar dari sini?” Tanyaku, merasa tak yakin.
“Tergantung pilihanmu. Kalau pilihanmu tepat, maka kamu dan dua orang temanmu akan keluar dari sini dengan sendirinya.”
“Apa ada pilihan yang lain, selain memilih bunga itu?”
“Aku menukarkannya dengan sebatang rokokmu, jadi hanya itulah satu-satunya pilihan yang kamu miliki.”
Akhirnya aku harus memiliih. Aku memilih satu bunga yang mirip dengan mawar, tapi bedanya bunga yang aku pilih itu tidak berduri dan batang bunga itu ditumbuhi jamur-jamur kecil berwarna putih dan sangat indah menurutku.
“Kenapa kamu memilih bunga itu?” tanya si lelaki.
“Aku memilih bunga ini karena menarik perhatianku. Tidak ada alasan lain lagi.”
“Kamu tahu nama bunga itu?”
“Jangankan tahu namanya, melihatnya saja baru kali ini!”
“Mungkin kamu termasuk beruntung telah memilih bunga itu, tapi kamu tidak bisa keluar langsung dari kampung ini. Karena pilihanmu tidak tepat. Tapi keberanianmu itu adalah sesuatu yang pantas diacungi jempol. Dilihat dari bunga yang kamu pilih, aku yakin kalau kamu memang adalah manusia yang memiliki keyakinan yang teguh. Seperti yang dikatakan kepala kampung kami.”
“Aku menukarkannya dengan sebatang rokokmu, jadi hanya itulah satu-satunya pilihan yang kamu miliki.”
Akhirnya aku harus memiliih. Aku memilih satu bunga yang mirip dengan mawar, tapi bedanya bunga yang aku pilih itu tidak berduri dan batang bunga itu ditumbuhi jamur-jamur kecil berwarna putih dan sangat indah menurutku.
“Kenapa kamu memilih bunga itu?” tanya si lelaki.
“Aku memilih bunga ini karena menarik perhatianku. Tidak ada alasan lain lagi.”
“Kamu tahu nama bunga itu?”
“Jangankan tahu namanya, melihatnya saja baru kali ini!”
“Mungkin kamu termasuk beruntung telah memilih bunga itu, tapi kamu tidak bisa keluar langsung dari kampung ini. Karena pilihanmu tidak tepat. Tapi keberanianmu itu adalah sesuatu yang pantas diacungi jempol. Dilihat dari bunga yang kamu pilih, aku yakin kalau kamu memang adalah manusia yang memiliki keyakinan yang teguh. Seperti yang dikatakan kepala kampung kami.”
“Aku tidak memerlukan pujianmu itu. Yang aku perlukan adalah jalan keluar dari kampung kalian yang telah membuat kami kebingungan. Tapi aku heran kemana perginya laki-laki tua yang mengaku kepala kampung itu?”
“Mereka sedang menunggu kita di Balai Keagungan. Mari kita kesana sekarang. Kalian akan berkesempatan mengenal bangsa kami lebih jauh lagi.”
Kami dituntun tukang bunga itu menuju ke tengah kampung yang tampak banyak rumah-rumah penduduk. Kami heran dengan sambutan yang mereka berikan. Hangat dan bersahabat. Tampaknya mereka telah menantikan kedatangan kami.
“Kalian tidak usah terburu-buru. Kami berjanji akan mengantarkan ke negeri kalian tanpa kekurangan sehelai bulu kalian. Tapi kalian juga harus bersedia menerima jamuan kami. Kalian akan kami pandu untuk melihat tiga kampung kami, yaitu kampung Cikal, Cinta dan Cahaya.”
“Mereka sedang menunggu kita di Balai Keagungan. Mari kita kesana sekarang. Kalian akan berkesempatan mengenal bangsa kami lebih jauh lagi.”
Kami dituntun tukang bunga itu menuju ke tengah kampung yang tampak banyak rumah-rumah penduduk. Kami heran dengan sambutan yang mereka berikan. Hangat dan bersahabat. Tampaknya mereka telah menantikan kedatangan kami.
“Kalian tidak usah terburu-buru. Kami berjanji akan mengantarkan ke negeri kalian tanpa kekurangan sehelai bulu kalian. Tapi kalian juga harus bersedia menerima jamuan kami. Kalian akan kami pandu untuk melihat tiga kampung kami, yaitu kampung Cikal, Cinta dan Cahaya.”
Setelah makan malam bersama, kami bertiga diantar ke sebuah rumah untuk beristirahat guna mempersiapkan diri untuk berkunjung ke dua kampung seperti yang dikatakan kepala kampung.
Keesokan harinya, laki-laki tukang bunga yang bernama Qutsy itu telah datang menjemput kami. Dia memandu kami seperti seorang pemandu turis saja. Kepala kampung yang mengaku bernama Bahrun juga ikut menghantar kami melihat kedua kampung Cikal dan Cahaya.
“Sekarang kalian telah mengunjungi negeri kami. Mungkin tidak ada keistimewaan yang menggugah hati kalian. Tapi ketahuilah kalau kedatangan kalian ke negeri kami ini bukanlah suatu kebetulan. Semuanya telah digariskan oleh Allah. Sekarang tidak ada alasan bagi kami untuk menahan kalian di sini.”
Keesokan harinya, laki-laki tukang bunga yang bernama Qutsy itu telah datang menjemput kami. Dia memandu kami seperti seorang pemandu turis saja. Kepala kampung yang mengaku bernama Bahrun juga ikut menghantar kami melihat kedua kampung Cikal dan Cahaya.
“Sekarang kalian telah mengunjungi negeri kami. Mungkin tidak ada keistimewaan yang menggugah hati kalian. Tapi ketahuilah kalau kedatangan kalian ke negeri kami ini bukanlah suatu kebetulan. Semuanya telah digariskan oleh Allah. Sekarang tidak ada alasan bagi kami untuk menahan kalian di sini.”
Sebelum kepala kampung melepaskan kami, dia memberikan kepadaku sebuah cinderamata berupa bunga cinta. Bunga ini bukan bunga sembarangan. Bunga ini bisa menyembuhkan satu macam penyakit yaitu penyakit mata.
Akhirnya kami kembali ke negeri atau kampung halaman kami. Setibanya di kampungku, aku bercerita kepada penduduk setempat bahwa kami telah tersesat di kampung orang bunian. Mereka tidak percaya dengan cerita kami.
Tanpa banyak bicara, aku beritahukan kepada pendudu, bahwa aku telah diberi sebuah bunga. Bunga itu bukan sembarang bunga. Aku coba praktekkan kepada penduduk untuk membuktikannya. Kucari penduduk yang mempunyai masalah dengan matanya. Tanpa ragu-ragu lagi, aku praktekkan kepada salah seorang lelaki tua yang sudah lama menderita katarak. Alhamdulillah, dengan seizin Allah, penyakit katarak itu sembuh. Warga pun akhirnya mempercayai kami.
Akhirnya kami kembali ke negeri atau kampung halaman kami. Setibanya di kampungku, aku bercerita kepada penduduk setempat bahwa kami telah tersesat di kampung orang bunian. Mereka tidak percaya dengan cerita kami.
Tanpa banyak bicara, aku beritahukan kepada pendudu, bahwa aku telah diberi sebuah bunga. Bunga itu bukan sembarang bunga. Aku coba praktekkan kepada penduduk untuk membuktikannya. Kucari penduduk yang mempunyai masalah dengan matanya. Tanpa ragu-ragu lagi, aku praktekkan kepada salah seorang lelaki tua yang sudah lama menderita katarak. Alhamdulillah, dengan seizin Allah, penyakit katarak itu sembuh. Warga pun akhirnya mempercayai kami.