Breaking News

Selasa, 19 Juli 2016

Dilayani Burong Madeung

Dilayani Burong Madeung

kuntilanak

Alkisah di sebuah gampong udik di Aceh tinggallah sepasang pengantin baru. Rumah mereka jauh di ujung perkampungan. Terpaut 500 meter dari rumah terakhir. Sebut saja nama sang suami Ruslan dan istrinya bernama Suryani.

Mereka hidup dalam kondisi pas-pasan. Pekerjaan Ruslan sehari-hari adalah mencari buah jernang ke tengah rimba. Bila sudah berburu jernang, dia tidak pulang berbulan-bulan lamanya.

Pagi itu, Ruslan pamit pada Suryani. Dia hendak kembali berburu jernang. Ada rasa enggan untuk berangkat, sebab kondisi kehamilan Suryani tinggal menunggu hari. Namun apa daya, kondisi keuangan mereka sudah sekarat. Bahkan sudah terjebak hutang pada Toke Ali, agen pengumpul jernang.

"Tak usah abang hiraukan adinda. Yakinlah Dek Sur bisa jaga diri. Calon bayi kita membutuhkan banyak biaya. Biarlah nanti Sur dijaga oleh ibu. Katanya nanti sore beliau datang," kata Suryani meyakinkan sang suami.

Setelah mengecup dahi dan perut istrinya, Ruslan pun bergegas bersama rombongan kecil. Mereka berjalan kaki menerobos rimba raya.

Dua hari sepeninggal Ruslan, Suryani merasakan sakit diperutnya. Dia hendak melahirkan. Sang ibu segera mencari bidan. Namun malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih. Suryani meninggal dunia beserta anak yang hendak dilahirkannya. Maha duka menyelimuti ibu Suryani.

Kepada beberapa orang yang melintas, dia memohon agar ada yang mengabari berita duka itu kepada Ruslan. Lima orang pemuda bergegas menuju rimba. Namun tiga hari kemudian mereka pulang dengan tangan hampa.

"Kami tidak berhasil menemukan rombongan Bang Ruslan, mak," kata mereka lesu.

Sesuai dengan adat setempat, setiap malamnya baik laki-laki maupun perempuan, secara silih berganti mengadakan tahlilan atas kematian Suryani. Perempuan malang itu dikuburkan di pemakaman umum yang berjarak satu km dari rumah Ruslan.

Usai hari ketujuh, ibu kandung Suryani masih bertahan di rumah itu. Namun setelah lewat satu bulan, dia pun pulang ke rumahnya. Sang menantu yang ditunggu-tunggu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.

 kuntilanak gendong bayi

Genap 60 hari, tengah malam buta Ruslan tiba di rumahnya. Rasa rindu membuncah di dada. Dia ingin melihat istri dan anaknya. laki-laki atau perempuan kah?

Awalnya dia enggan masuk. Karena baru pulang dari rimba. Namun suara batuk perempuan dari dalam rumah, membuat rasa rindunya meluap-luap dan kemudian meledak. Dia pun mengetuk pintu.

Sejenak kemudian pintu terbuka.

"Abang, abang sudah pulang?," Kata Suryani sambil menubruk tubuh sang suami. Untuk beberapa saat mereka berpelukan.

"Tubuh kamu kok dingin, Dik?. Kamu sakit?," tanya Ruslan ketika memegang tangan istrinya yang nampak pucat dan dingin.

"Sudah dua hari aku meriang bang. Demam kadang datang tiba-tiba," jawab Suryani sambil menciumi suaminya.

"Mana si adek? Laki-laki atau perempuan?," tanya Ruslan.

"Ada tuh di kamar. laki-laki dong. Mirip abang. Tapi jangan masuk kamar dulu. Mandi dulu sana. Biar adek siapkan air panas," kata Suryani.

Ruslan mandi kilat. Usai itu dia masuk kamar dan melihat bayi merah sedang lelap di dalam ayunan. Dia mencium dahi anak laki-laki itu.

"Gantengnya diwariskan dari bapaknya. Tapi bibirnya kirip aku kan bang?," kata Suryani manja sambil memeluk sang suami.

"Alhamdulillah. Oh iya. Abang panen besar di rimba. Untuk itu agak terlambat pulang. Karena ada sebagian yang kami jual ke Takengon. Di sana lebih mahal," kata Ruslan sambil menyerahkan uang kepada sang istri.

"Abang simpan saja. Aku tidak butuh uang. Nanti semua keperluan rumah tangga kita, abang saja yang belanja,"

"Baiklah. Mari kita tidur," ajak Ruslan.

"Sebelum tidur kita ngapain?," tanya Suryani nakal.

"Abang akan memanjat kelapa. Adek mau?,"

"Hahahahaha,"
***
Selama satu minggu Ruslan tidak kemana-mana. Dia asyik di rumah bermain dengan anak dan istrinya. Rasanya tiada kebahagiaan yang paling sempurna, kecuali menghabiskan waktu dengan orang-orang tercinta.

"Bilakah setelah ini abang tidak lagi pergi kemana-mana, aku sangat berbahagia," kata Suryani saat mereka sedang menikmati ubi goreng di teras rumah.

"semoga saja bisa ya," kata Ruslan. Wajah Suryani terlihat gembira.

Hingga pada suatu hari Ruslan mengajak istrinya ke pasar malam. Namun Suryani menolak.

"Abang saja yang pergi. Aku gak enak badan,"

"Kalau gitu besok saja. Pun besok abang harus beli perlengkapan si adek. Abang mau beli baju untuk dia dan kamu,"

"Kenapa tidak minggu depan saja? Bukankah kami belum membutuhkan pakaian baru,"  "jawab Suryani kurang berselera.

"kalau terus ditunda-tunda, nanti uangnya keburu habis. Rasanya uang di dompet sedang mencoba meloncat-loncat keluar ingin segera ditukar dengan barang lain," jawab Ruslan.

"Kalau begitu terserah abang saja," jawabnya sambil memeluk sang suami.
***
Sedang asyik-asyiknya membeli baju daster perempuan, seseorang mendekat.

"Untuk apa daster itu, Ruslan? Untuk mertua kamu?,"

"Eh Cek Din Rupanya. Bukan Cek, ini untuk Suryani" jawab Ruslan.

"Suryani? Suryani yang mana? Apa secepat itu engkau bisa menikah lagi?," tanya Cek Din.

"Apa-apaan sih Cek ini. Ini untuk Suryani istriku. Mana ada aku menikah lagi," jawab Ruslan tanpa curiga.

"Bukankah Suryani sudah meninggal dunia dua bulan lalu. Saat kau mencari jernang ke hutan. Apakah engkau tidak tahu itu?,"

Ruslan kaget. Namun masih tak percaya. Cek Din Memanggil Apa Suman untuk meyakinkan Ruslan.

"Iya Lan. Dua hari sepeninggal kamu dia tiada bersama anak di dalam kandungannya,"

Daster yang dipegang di tangan jatuh ke tanah. "Jadi yang dirumah itu siapa? bayi merah lucu itu anak siapa?," tanya Ruslan. Matanya segera sembab. Sejenak kemudian dia menangis keras.

***

Ketiganya kemudian bergegas menuju rumah Ruslan. Rumah itu kosong. Kamar tidur sudah berdebu. Seluruh rumah sudah dipenuhi jelaga. Dia melihat ayunan yang dulunya dia persiapkan untuk bayi mereka.

Hati Ruslan hancur berkeping-keping. Luluh lantak bak dilamun samudera. Dia menangis tersedu-sedu.

"Cek Din dan Apa Suman, tinggalkan aku sendiri di sini. Aku ingin sendiri saat ini," pinta Ruslan.

Kedua laki-laki itu pun bergegas pulang.

Malam hari pun tiba. Ruslan duduk di teras rumah. Baru malam kemarin dia duduk di sana bersama Suryani sambil menikmati ubi goreng. Dia merenung sendiri, hingga lamat-lamat dia melihat dua orang laki-laki berlari ke arah rumahnya.

"Ruslan tolong kami! Suryani mengamuk!," teriak mereka. Rupanya Cek Din dan Apa Suman.

 kuntilanak

Sejenak kemudian, dari atas pohon kelapa turun seorang wanita berpakaian putih berambut panjang serta mengendong seorang bayi.

"Laki-laki sialan. Kau rusak kebahagiaanku. Kalian harus jahannam. Dasar laki-laki pungoe, sibuk mencampuri urusan orang lain," hardik wanita itu. Wajahnya mirip Suryani. Tapi pucat seperti orang mati.

Ruslan agak kecut juga. Dia merinding. Satu minggu lebih dia tinggal bersama perempuan itu. Namun karena rasa cintanya kepada sang istri dia pun angkat bicara.

"Bilakah benar engkau telah menipuku atas nama cinta, mengapa pula engkau hendak mencelakai mereka? Bukankah mereka sudah berkata jujur padaku?,"
 kuntilanak gendong bayi

Perempuan itu mengalihkan pandangannya kepada Ruslan.

"Oh kekasihku, betapa aku sangat mencintaimu. Untuk itulah aku tidak tenang di alam kubur dan bangkit untuk mengkhadam dirimu. Namun dua lelaki sialan ini telah merusak semuanya. Mereka pantas mati, agar impas,"

Begitu perempuan itu hendak mencelakai kedua kenalan Ruslan, tiba-tiba Imam kampung dan ibu kandung Suryani muncul.

"Hentikan. Dasar iblis sialan. Apa salah anakku terhadap mu? Hingga tega-teganya engkau merusak nama baiknya," hardik ibu kandung Suryani.

"Ibu, kapan ibu datang?," tanya hantu perempuan itu.

"Aku bukan ibumu. Kau iblis laknat yang menyerupai Suryani. Kembalilah ke asalmu. Kalau tidak kami akan mencelakai dirimu," hardik ibu.

Hantu itu menangis. Dia meratap. Kemudian terbang masuk ke dalam rumah. Di dalam kamar dia menangis tersedu. Ratapan putus asa dan kecewa.

"Ketika mati aku belum ikhlas. Ada seseorang menyantetku. Padahal bayi ini hendak lahir. Aku yakin dalam dua helaan nafas lagi dia akan selamat.

Aku sayang pada Bang Ruslan. Untuk itu aku bertahan. Arwah ku menolak pulang. Aku ingin melihat wajah suamiku," rajuk hantu itu dari dalam kamar.
 kuntilanak gendong bayi

Mendengar kalimat itu, Ruslan luluh. Kemudian dia masuk ke dalam rumah. Dia menatap sosok berpakaian putih itu duduk di atas tempat tidur sambil mengayun bayi di dalam ayunan.

"Entah siapa kau sebenarnya. Namun aku yakin engkau adalah Suryani. Istriku yang baik. Kiranya rindumu sudah terobati selama seminggu ini. Aku sangat menyintai kalian berdua. Namun, engkau juga harus menyayangi diriku. Jangan buat ibu dan aku menanggung malu.

Kembalilah ke asalmu. Bawalah anak kita. Katakan padanya bila aku sangat mencintai dirinya," kata Ruslan.

Tak disangka, hantu perempuan itu luluh. Dia nampak menangis. "Kalau boleh tahu, siapa nama anak kita yang hendak engkau berikan,Kanda,?"

"Namanya Rustam bin Ruslan," jawab Ruslan.

Hantu itu bangkit dari tempat tidur.

"Nak, ayah sudah memberikan nama untukmu. Mari kita pulang. Rumah kita bukan lagi di sini. Ayah sayang pada mu anakku. Iya kan ayah?," kata hantu itu.

"Iya, aku sayang kalian berdua," jawab Ruslan dengan hati berkeping-keping.

Hantu perempuan itu, setelah mengendong sang bayi, lamat-lamat menghilang dari pandangan Ruslan.
***
Usai kejadian itu, seminggu kemudian Ruslan pamit kepada mertuanya untuk merantau.

"Tak ada siapapun lagi yang bisa menahan langkahku, ibu. Aku hendak membawa luka hati ini keluar. Aku tidak bisa bertahan di sini. Karena Suryani terlalu indah di dalam hatiku," ucap Ruslan ketika pamit.

 kuntilanak
Pada suatu malam terang bulan, tiga tahun kemudian, seorang warga memergoki sesosok perempuan yang sedang mengendong bayi duduk di tepi jembatan. Setelah diperhatikan ternyata wanita itu mirip Suryani.

"Kak Sur? Masihkah arwahnya gentayangan?,"

Lelaki itu mendengar kata-kata hantu itu kepada bayinya.

"Jangan lagi menangis nak. Kita harus sabar. Mungkin bulan depan ayah akan pulang membawa hadiah untuk kamu nak Rustam," []



Burong madeung adalah arwah perempuan yang mati ketika melahirkan. Istilah ini sampai sekarang masih digunakan dikalangan masyarakat Aceh.

Designed By Published.. Blogger Templates